Arca-arca batu berusia ratusan tahun bisa dijumpai
di halaman-halaman rumah penduduk. Di Gomo setidaknya ditemukan 14 titik
yang merupakan situs batu megalit. Tapi yang sudah dibuka untuk umum
baru empat situs, semua yang telah dipugar pemerintah. Semua situs itu
terletak di ladang dan hutan penduduk setempat di daerah Idanotai,
Lahusa Satua dan Tundu Baho. Untuk menuju ke sana hanya bisa di tempuh
dengan berjalan kaki atau kendaraan roda dua. Itu pun harus menyeberangi
arus sungai dan jalan setapak di pegunungan yang kemiringan konturnya
mencapai 45 derajat, sangat melelahkan memang.
Kalau di tanah Batak ada kata Horas, maka di Nias ada
kata Ya'ahowu. Fungsinya kurang lebih sama sebagai sapaan mengandung
kebaikan. Ya'ahowu secara harfiah bisa diartikan: Terberkatilah anda! Di
Nias jangan segan-segan untuk menyapa orang yang anda temui dengan
sapaan Ya’ahowu, orang yang anda sapa akan menjawab anda dengan
antusias. Kata ini jadi kalimat pembuka yang efektif jika seseorang
ingin bertanya atau berdialog dengan penduduk Nias..
Nias memang unik, pulaunya terisolasi samudera Hindia. Topografinya
berkontur ekstrem, dari pantai yang landai langsung menanjak ke daerah
perbukitan dan pegunungan. Di daerah ini tradisi megalit belum
terhapuskan. Nias termasuk salah satu dari tujuh tempat di dunia yang
budaya megalitnya masih hidup, The Living Megalith Culture. Dan karena
itulah UNESCO merencanakan memasukan Nias sebagai World Heritage,
warisan dunia dari Indonesia. Setelah di hajar gempa pada tanggal 28
maret 2005 yang lalu, pariwisata Nias mengalami pukulan berat bahkan
sempat kolaps. Padahal di Nias banyak sumber daya alam dan budayanya.
Misalnya desa-desa adat dengan tradisi megalitiknya yang punya potensi
penarik wisatawan domestik dan mancanegara.Ibukota Nias adalah Gunungsitoli, untuk mencapainya ada beberapa rute yang bisa kita tempuh. Bisa melalui kota Medan atau kota Padang. Dari kota Medan harus melalui udara, ada maskapai penerbangan Merpati dan SMAC yang melayani jalur ini. Setiap harinya setidaknya ada dua penerbangan, pagi dan siang. Tarifnya berkisar di angka Rp.500.000. Pesawat akan mendarat di bandara Binaka, Gunung Sitoli. Sedang Jika dari kota Padang ada dua jalur alternatif yang ditempuh darat dan udara. Kalau jalan darat dari Padang harus ke Sibolga terlebih dahulu , lama perjalanan sekitar enam jam. Dari Sibolga menuju Gunung Sitoli menggunakan kapal fery cepat selama 3 jam, tarif paling mahal Rp.100.000. Sedangkan kalau melalui jalur udara bisa menggunakan penerbangan perintis maskapai penerbangan SMAC yang beroperasi hanya hari Senin dan Jumat. Dari Padang transit sebentar ke pulau Telo dari sana langsung ke Binaka. Tarifnya penerbanganya hanya Rp.230.000.
Di Gunungsitoli terdapat Museum Pusaka Nias, yang
mengkoleksi benda-benda peninggalan budaya Nias. Jumlahnya koleksinya
mencapai 6500-an dan itu berkat kerja keras Pastor Johannes M. Hammerle,
warga negara Jerman yang sudah menetap di Nias selama 36 tahun. Pastor
Johannes juga bertindak selaku direktur museum. Sedikit demi sedikit ia
mengumpulkan koleksinya dari desa-desa di pedalaman Nias sambil menjalan
misinya sebagai penyebar agama. Koleksinya terdiri dari artefak
alat-alat rumah tangga, patung-patung megalit dari kayu dan batu,
perhiasan, senjata tradisonal, mata uang, pakaian perang, simbol-simbol
kebangsawanan sampai rumah adat asli Nias yang disebut Omo Hada.
Museum Pusaka Nias ini adalah satu-satunya tempat
hiburan yang ada di Gunungsitoli. Jika libur pengunjungnya bisa mencapai
1500 orang. Tempat ini juga menyediakan fasilitas perpustakaan umum,
ruang pertemuan, kantin, kebun binatang mini, sampai area rekreasi
pantai. Pengunjung bisa bersnorkling dengan nyaman dari pinggir dermaga
yang ada di museum ini. Pantainya cukup unik karena tidak ada pasir yang
melandai tapi langsung bebatuan karang. Dari pinggir dermaga langsung
berhadapan dengan laut dalam. Begitu menceburkan diri ke laut kedalaman
mencapai 2-3 meteran. Kalau hendak bersnorkling tidak perlu berenang
jauh ke tengah laut, jarak 1 meter dari pinggir pantai airnya sudah
dalam dan banyak kehidupan bawah air yang menarik.
Museum ini juga disediakan penginapan murah meriah bagi para
pelancong, tarifnya Rp.40.000 s.d. Rp.75.000 permalam. Sayangnya kamar
yang disediakan hanya enam kamar padahal suasana yang ditawarkan sangat
menyenangkan, selain bersih dan asri juga terletak dipinggir pantai yang
cantik. Selain kamar juga menyewakan beberapa paviliun berupa rumah
adat Nias, Omo Hada, yang disewakan seharga Rp.150.000 perhari lengkap
dengan kamar mandi dan dapur. Untuk fasilitas dan kenyamanannya
penginapan di museum ini patut di sematkan sebagai akomodasi yang
Highly Recommanded, sangat direkomendasikan.Daya tarik Nias ada pada tradisi megalitnya. Dan di Nias Selatanlah yang masih banyak dijumpai peninggalan budaya megalit. Ibu kota Nias Selatan adalah Teluk Dalam, letaknya 120 km dari Gunungsitoli. Untuk mencapai Teluk Dalam dari Gunungsitoli bisa menggunakan kendaraan umum berupa minibus dengan tariff Rp.40.000. Ada dua jalur yang dapat ditempuh yang pertama lewat jalur tengah yaitu melewati daerah Lahewa terus membelah pulau Nias sampai ke Teluk Dalam. Lewat jalur ini akan melewati pantai Mo'ale yang cantik yang terletak 45 km sebelum Teluk Dalam di wilayah kecamatan Amandraya. Selain airnya jernih dan pasirnya yang putih bersih pantai ini sepi tanpa pemukiman disekitarnya. Hanya sesekali perahu nelayan terlihat dikejauhan. Tempat yang ideal bagi yang tidak menyukai keramaian. Mereka yang melancong di daerah ini tidak perlu takut ketiadaan air bersih karena di pantai ini pula ada muara sungai kecil yang airnya jernih mengalir. Melihat pantai ini seakan kita berada dalam film Cast Away yang dibintangi Tom Hank atau film Blue Lagoon yang dibintangi artis cantik Brooke Shield.
Duabelas kilometer sebelum sampai Teluk Dalam akan dijumpai dua pantai yang indah yaitu pantai Lagundri dan Sorake. Jarak antara pantai Lagundri ke Sorake hanya dua kilometer. Di pantai Sorake inilah salah satu surganya para pemain peselancar. Di pantai ini sering diadakan kejuaraan bertaraf internasional. Sorake termasuk the best ten tempat peselancar di dunia. Salah satu keunggulannya selain ombaknya yang tinggi bisa mencapai 4,5 meter juga panjang daya dorong ombaknya yang bisa mencapai 200 meter. Hal ini sudah dibuktikan dalam salah satu perlombaan bertaraf international di sana. Tapi sayangnya semenjak gempa permukaan laut pantai Nias meninggi sampai satu meter sehingga pantaipun menjadi menjorok ke laut. Kini karang-karang mencuat bertonjolan keluar di bibir pantai Sorake.
Di pinggir pantai Sorake berjajar losmen dan penginapan yang nyaman dan murah. Ada kurang lebih enampuluhan losmen yang bertarif hanya Rp.50.000 semalam Fasilitasnya kasur dan bantal, kamar mandi di dalam, air bersih, listrik, kipas angin, dan kelambu. Menurut salah seorang pegelola losmen sebelumnya malah lebih murah lagi. Karena persaingan tidak sehat para pemilik losmen membanting harga serendah-rendahnya. Dan untuk mencari keuntungan mereka menaikan harga makanan. Dan jangan kaget sampai sekarang pun harga makanan di Sorake masih mahal. Untuk sepiring nasi goreng harganya bisa mencapai duapuluhlima ribu rupiah, padahal dari segi rasa dan porsinya sama saja seperti nasi goreng gerobak yang banyak mangkal di jalan Sabang, Jakarta. Kalau ingin mengunjungi desa-desa adat di sekitar Teluk Dalam, losmen-losmen di Sorake ini patut dipertimbangankan untuk menjadi basecampnya. Selain karena dekat dengan beberapa desa adat juga karena bisa menangkap sinyal telpon genggam yang bagi beberapa pelancong merupakan hal yang vital.
Perjalanan lewat jalur ini menyusuri pantai dan lebih cepat tiba di teluk Dalam. Pemandangannya tak membuat jenuh tapi sayangnya ketika mencapai pantai Rockstar dekat Simpang Auge banyak terjadi kerusakan pantai dikarenakan adanya penambangan pasir laut oleh penduduk sekitar. Pasir-pasir ini memang dibutuhkan untuk proyek-proyek pembangunan Nias pasca gempa. Sangat ironis dan dilematis, di satu sisi penggalian pasir itu ikut membuat hancur lingkungan di sisi lain disamping menyediakan tenaga kerja juga memenuhi kebutuhan akan pembangunan perumahan.
Kualitas jalan jalur ini sekarang sudah meningkat setelah BRR memperbaikinya. Dahulu sebelum gempa kualitas jalan tidak sebaik sekarang, ada omongna orang Nias yang mengatakan gempa ini membawa banyak perbaikan fisik dan infrasturktur di Nias. Setelah gempa banyak agenda pembangunan sehingga roda perekonomian bergulir berbeda sewaktu belum terjadi gempa. Gempa bagaikan berkah yang terselubung bencana.
Setelah sampai di pertigaan Lahusa kalau tidak ingin langsung ke Teluk Dalam bisa ambil jalan belok ke kanan memasuki wilayah kecamatan Gomo. Di Gomo inilah masih banyak dijumpai artefak-artefak batu-batu era jaman megalit. Di wilayah ini para leluhur orang Nias mendirikan pemukiman pertamanya. Walaupun di daerah perbukitan namun banyak area yang membentuk lembah dan datar sehingga memudahkan untuk bermukim dan bercocok tanam. Di sini air bersih melimpah ruah, beberapa sungai mengaliri daerah lembah ini.
Arca-arca batu berusia ratusan tahun bisa dijumpai di
halaman-halaman rumah penduduk. Di Gomo setidaknya ditemukan 14 titik
yang merupakan situs batu megalit. Tapi yang sudah dibuka untuk umum
baru empat situs, semua yang telah dipugar pemerintah. Semua situs itu
terletak di ladang dan hutan penduduk setempat di daerah Idanotai,
Lahusa Satua dan Tundu Baho. Untuk menuju ke sana hanya bisa di tempuh
dengan berjalan kaki atau kendaraan roda dua. Itu pun harus menyeberangi
arus sungai dan jalan setapak di pegunungan yang kemiringan konturnya
mencapai 45 derajat, sangat melelahkan memang.
Napak Tilas ke desa-desa adat
Di Nias Selatan masih banyak terdapat desa-desa adat. Yang menonjol
dari desa-desa adat ini adalah penataan arsitekurnya, baik lanskap
maupun bangunannya. Dulunya setiap desa di pimpin oleh seorang raja.
Desa-desa ini terletak di daerah yang sulit di jangkau seperti di
perbukitan terjal atau lembah-lembah yang ada di baliknya. Tujuannya
adalah untuk membentengi diri dari serangan desa lain. Pada masa lalu
perang antar desa kerap kali terjadi. Peyerbuan sebuah desa oleh desa
yang lainnya kerap terjadi. Biasanya disertai dengan penculikan penduduk
yang nantinya akan di jadikan budak. Maka struktur masyarakat Nias masa
lalu terdiri dari kelas raja, cendikia dan bangsawan, rakyat biasa dan
budak. Dan pola pemukiman pun terbentuk dari struktur masyarakat ini.
Di mana rumah tinggal raja yang disebut ,Omo Sebua, yang artinya rumah
besar terletak di poros pola jalan yang berbentuk tegak lurus, tepat di
tusak satenya. Rumah raja, Omo Sebua, diapit oleh rumah-rumah adat yang
lebih kecil lainnya yang disebut juga Omo Hada. Rumah-rumah adat atau
Omo Hada ini kuat menahan gempa, pada gempa dua tahun lalu banyak
menyelamatkan nyawa manusia. Dari 850 lebih korban jiwa hanya satu
korban yang tinggal dalam rumah adat, tepatnya di desa Hilimondregeraya,
Teluk Dalam. Sebagian besar yang tewas adalah yang tinggal di rumah
berkontruksi modern.
Dari kebiasaan berperang antar desa ini kemudian
timbul kesenian Tari Perang dan lompat batu, Fahombe. Acara lompat batu
ini dahulu dikhususkan untuk persiapan perang. Karena biasanya setiap
desa membentengi dirinya dengan pagar bambu setinggi dua meteran, maka
para pria desa di latih untuk bisa melompati pagar itu dengan cara
melompati batu Acara lompat batu ini juga sebagai sarana uji keberanian
Dan kedewasaan seorang anak laki-laki.
Sedikitnya ada 14 desa adat yang bisa dikunjungi
yaitu desa Bawodobara, Bawagosali, Bawomataluo, Hiliamaetaliha,
Hilifalago, Hilimondregeraya, Hiliganowo, Hilinamauzau'a, Hilinawalo
Fau, Hilinawalo Mazino, Hilinamaetano, Hilizalo'otano, Lagundri, Lahusa
Fau, Onohondro, dan Orahili. Keempat belas desa adat inilah masih banyak
memiliki rumah adat. Tapi tidak semua desa memiliki Omo Sebua, rumah
besar atau rumah raja. Tercatat hanya empat desa yang masih memiliki Omo
sebua, yaitu desa Hilinawalo Fau, Ono Hondro, Bawomataluo dan
Hilinawalo Mazino.
Bagi yang senang berpetualang dan jalan-jalan di pedesaan atau hutan
untuk mengunjungi empat desa yang masih memliki Omo Sebua ini bisa
mengikuti rute yang memakan waktu tempuh 2 hari perjalanan. Sambil
melewati empat desa ini juga rute akan melewati desa-desa lainnya. Rute
terbaik desa pertama yang di singgahi adalah Desa Hilinawalo Mazino.
Bisa dicapai dari Simpang Auge terus menaiki wilayah perbukitan
melewati desa Bawolahusa dan desa Hilizalo'otano. Waktu tempuhnya
sekitar 2-3 jam jalan kaki. Kalau hendak naik kendaraan roda empat hanya
bisa sampai desa Hilizalo'otano selebihnya berjalan kaki.Sebelum mencapai desa Hilawalo Mazino kita akan melewati area persawahan yang cantik dan berbasah-basah menyeberangi beberapa anak sungai. Sampai di desa ini berkunjunglah ke Omo Sebua dan bertemu dengan ketua adat yang merupakan keturunan raja, namanya Ama Seniwati Bulolo. Orangnya ramah dan menyenangkan, dengan sukarela ia akan mengantarkan kita berkeliling desa melihat kehidupan desa itu. Kita bisa menginap di Omo Sebua ini. Untuk keperluan mandi bisa bergabung dengan penduduk desa di sungai yang berair jernih di belakang desa.
Kalau hendak melanjutkan perjalanan bisa berjalan kaki ke desa Hilinawalo Fau. Karena untuk ke desa ini melewati hutan ada baiknya didampingi penduduk setempat sebagai petunjuk jalan. Lamanya perjalanan sekitar 2-3 jam. Sampai di desa ini juga bisa meminta ijin menginap di rumah penduduk. Esok paginya bisa dilanjutkan perjalanan ke desa Ono Hondro sekitar 1 jam perjalanan. Sayangnya Omo Sebua di desa ini tak terawat dan nyaris rusak berat karena ditingal pemiliknya. Dari desa ini berjalan kaki lagi sekitar 1 jam ke desa Bawomataluo melewati desa Siwalawa.
Desa Siwalawa pernah mengalami kebakaran hebat
sehingga banyak rumah adatnya musnah, hanya ada beberapa saja rumah adat
yang tersisa. Api memang menjadi musuh utama bagi rumah adat Nias.
Banyak rumah adat yang musnah karena terbakar. Api juga dulunya dipakai
sebagai senjata ampuh oleh desa yang berperang. Karena rumah adat
terbuat dari kayu maka dengan cepat api akan merambat dan memusnahkan
seluruh isi desa. Kalau kita menginap di desa adat setiap beberapa saat
akan terdengar teriakan yang mengingatkan agar menjaga api yang ada di
dalam rumah. Teriakan ini berasal penduduk desa yang ronda menjaga
kampung siang-malam.
Setelah melewati desa Siwalawa maka sampailah di desa
Bawomataluo. Inilah desa adat yang paling fenomenal di Nias selatan. Di
desa ini terdapat Omo Sebua yang paling megah di Nias. Di desa ini
terdapat 230 rumah adat atau Omo Hada, atau yang terbanyak dari desa
adat manapun di Nias Selatan. Di desa ini pemukimannya paling padat.
Akses untuk memasuki desa ini bisa melalui pintu belakangnya atau lewat
gerbang desa. Karena desa ini terletak di atas puncak bukit untuk
mencapai gerbangnya harus menaiki 88 anak tangga dengan sudut 45
derajat. Dari gerbang desa ini kita bisa melihat samudera Hindia dan
jika hari menjelang sore matahari senja terlihat tenggelam di samudera
itu. Itulah mengapa desa ini di namakan Bawomataluo yang artinya Bukit
Matahari.
Di desa ini seperti juga di desa lainnya biasa
dipertunjukan tarian perang dan atraksi lompat batu yang dalam bahasa
Nias disebut Fahombe. Tarian ini berakar pada tradisi perang antar desa
yang melambangkan kepahlawanan penduduk desa yang menjagamdesanya. Dari
gerbang desa Bawomataluo sekitar satu kilometer di bawahnya akan
terlihat desa Orahili Fau. Jika masih kuat berjalan bisa berkunjung
dengan waktu tempuh setengah jam. Selain keempat desa yang memiliki Omo
Sebua itu juga ada desa lain yang tak kalah menariknya untuk wisata
budaya, namun sayangnya rutenya berlawanan. Jika sempat bermalam di
pantai Sorake ada empat desa lain di sekitarnya yang bisa dikunjungi
dalam satu kali perjalanan yaitu desa Hilisimaetano, Bawogosali,
Botohilitano dan Hiliamataniha.
Banyak pengrajin ukiran kayu, batu dan anyaman tikar
di desa-desa adat itu dan semuanya diperdagangkan. Kalau berniat membeli
oleh-oleh yang paling tepat adalah hasil kerajinan itu. Tak ada
oleh-oleh berbentuk makanan karena budaya kuliner Nias belum berkembang
seperti daerah lain di pulau Sumatera. Pilihan makanan di Nias terbatas.
Kecuali kalau musim buah durian tiba, banyak orang memproduksi dodol
durian untuk oleh-oleh. Harga buah durian pun menjadi murah bisa
mencapai seribu rupiah sebutir.
Berkunjung ke Nias Selatan serasa menelusuri kehidupan masa lalu, di
sana waktu seakan berhenti. Di tengah samudera Hindia yang luas ada
jejak budaya megalit yang masih hidup sampai saat ini.(*)