Biaya politik di Indonesia
yang sangat tinggi memancing parpol-parpol mengumpulkan modal untuk
bertarung dalam pilkada dan pemilu.
-- Oce Madril
Karena itu, selama biaya politik masih tinggi, maka setiap parpol akan berlomba-lomba mengumpulkan pundi-pundi modal. Siapa yang mempunyai modal atau kapital kuat, maka dialah yang akan bisa "membeli" suara rakyat.
"Jika demikian, maka ujung-ujungnya sistem politik kita hanya mereproduksi kasus korupsi politik setiap periode. Sehingga, dalam periode tahun 2014-2019 akan terjadi banyak kasus korupsi yang melanda eksekutif maupun legislatif," kata dia.
Sebelum kondisi ini berlanjut, KPU melalui peraturan KPU sebenarnya bisa mengatur manajemen kampanye, menentukan media kampanye, membatasi iklan, hingga mengurangi tingkat kooptasi media terhadap parpol atau calon tertentu. Sehingga, meski memiliki modal banyak, parpol-parpol akan kesulitan "membelanjakan" modal mereka.
"KPU masih mempunyai waktu untuk menerbitkan kebijakan agar kampanye tidak berkembang menjadi pasar bebas politik," tegasnya.
Sementara itu, mantan wakil presiden RI Jusuf Kalla mengatakan, motivasi para calon pemimpin untuk cepat kaya menjadikan ongkos politik di Indonesia mahal. Siapapun yang ingin punya pengaruh harus mau mengeluarkan ongkos dalam jumlah besar.
"Untuk keluarkan ongkos, seorang calon pemimpin harus mencari modal. Untuk mencegah hal ini, proses demokrasi di Indonesia harus benar-benar efisien sehingga orang-orang tak perlu berlomba-lomba untuk mencari posisi. Politik," kata Kalla.
sumber : http://nasional.kompas.com
Kalla juga memberi pesan, bagi para pemimpin-pemimpin muda,baik kiranya jika mereka harus betul-betul berkeringat dahulu sebelum sukses. Artinya, kaum muda jangan terlalu cepat ingin kaya.
No comments:
Post a Comment